TENTANG AKU

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Pernah menjadi guru berprestasi tingkat nasional tahun 2003, sekarang masih mengajar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMPN 1 Tengah Tani Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Untuk menambah tantangan dan membuka wawasan, saya juga menjadi guru di Unswagati Cirebon, Akbid Muhammadiyah Cirebon, serta Aktif mengurusi MGMP Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Cirebon dan Provinsi Jawa Barat.

Sabtu, 07 Mei 2011

UJIAN NASIONAL

UN DAN KECERDASAN MAJEMUK
Oleh Rudianto
Hasil Ujian Nasional 2010 baik tingkat SMA maupun SMP dan sederajat sudah diumumkan beberapa waktu yang lalu. Dampaknya luar biasa. Ada beberapa sekolah yang dirusak oleh siswanya sendiri karena mereka tidak puas dengan hasil Ujian Nasional. Ada banyak siswa yang histeris, bahkan pingsan karena tidak sanggup menerima kenyataan tidak lulus Ujian Nasional. Yang lebih mengenaskan lagi, adalah mereka ada yang sampai bunuh diri karena meresa masa depannya sudah hancur berkeping-keping dikoyak-koyak oleh Ujian Nasional. Apakah ini hal yang biasa?
Tentu saja sesuatu hal yang luar biasa. Semua orang, semua pihak, harus ikut menyelesaikan benang kusut di seputar Ujian Nasional yang setiap tahun menjadi momok bagi semua orang.
Ujian Nasional jangan sampai menjadi guru yang killer (pembunuh). Guru yang killer akan puas kalau siswa kesulitan menjawab soal ulangan/ujian yang diberikannya. Guru yang killer akan merasa puas kalau nilai yang diperoleh oleh siswanya sangat kecil. Guru yang killer akan merasa puas kalau siswa menangis sampai merengek-rengek meratapi hasil ulangan/ujiannya. Guru yang killer pada gilirannya akan melahirkan siswa-siswa yang curang, yang menghalalkan segala cara, yang penipu, pembohong, pecundang demi mendapatkan angka.
Tampaknya guru yang killer itu kini menjelma menjadi sosok yang menakutkan dan menyeramkan yang bernama Ujian Nasional atau UN.
Mengapa UN menjadi pembunuh? Ujian Nasional membunuh dengan cara yang profesional. Dia melakukannya tidak dengan tangannya sendiri. Dia meminjam tangan korban. Alat yang digunakan sebagai alasannya adalah ketidaklulusan. Kalau demikian, haruskah Ujian Nasional tetap dipertahankan?
Mempertahankan Ujian Nasional dengan tujuan seperti yang tertera dalam Pereturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 Tentang Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK Tahun Pelajaran 2009/2010 jelas menyesatkan dan akan membunuh siswa. Pasal 2 Peraturan tersebut berbunyi “Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Pembatasan mata pelajaran yang di-UN-kan hanya kelompok iptek sangat diskriminatif. Kita ambil contoh untuk SMP/Mts. Seperti dituliskan dalam Permendiknas Nomor 75 tersebut, “Mata Pelajaran UN SMP/MTs, dan SMPLB meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)”.
Mengapa diskriminatif? Pengkhususan mata pelajaran dalam UN tidak mempertimbangkan multiple intelegence/kecerdasan majemuk pada siswa. Profesor Howard Gardner dari Universitas Harvard pada 1983 mengatakan bahwa “Kecerdasan beraneka ragam dan dinamis, berkembang jauh melebihi linguistik dan potensi logika-matematika yang secara tradisional diuji dan dinilai di sekolah-sekolah”.( Nurmey Nurulchaq, 2009: 31). Menurut Howard dalam buku Psikologi Pendidikan karya Jhon W. Santrock bahwa setiap manusia memiliki delapan kecerdasan yang terdiri dari ;
1. Keahlian verbal; kemampuan untuk berpikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna.
2. Keahlian matematika; kemampuan untuk menyelesaikan oprasi matematika.
3. Keahlian spasial; kemampuan untuk berpikir tiga dimensi.
4. Keahlian tubuh-kinestetik; kemampuan untuk memanipulasi objek dan cerdas dalam hal-hal fisik.
5. Keahlian musik; sensitif terhadap nada, melodi, irama, dan suara.
6. Keahlian intrapersonal; kemampuan untuk memahami diri sendiri dan menata kehidupan dirinya secara efektif.
7. Keahlian interpersonal; kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
8. Keahlian naturalis; kemampuan untuk mengamati pola-pola di alam dan memahami sistem alam dan sistem buatan manusia.(2008: 140)
Menurut Nurmey Nurulchaq dalam buku Handout Konsultan Dermatogglyphics Multiple Intelegensi
distribusi kedelapan kecerdasan di atas merupakan pemetaan bagian-bagian otak berdasarkan fungsi masing-masing. Delapan segi kecerdasan yang berbeda itu tidak bergantung antara satu dengan yang lain dan mereka jarang bekerja sendiri. Setiap pribadi yang normal memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda, tetapi bagaimana cara kecerdasan ini bergabung, memiliki variasi seperti wajah dan kepribadian setiap individu. Implikasi dari teori ini adalah bahwa belajar/mengajar seharusnya terfokus kepada kecerdasan tertentu yang dimiliki seseorang dan menggunakan metode serta gaya pengajaran yang benar. Implikasi lanjutan dari teori ini adalah penaksiran kemampuan seharusnya mengukur semua bentuk kecerdasan, bukan hanya bahasa dan logika matematika(2009 : 33).
Kalau kita melihat bahwa UN SMP/MTs hanya ada empat mata pelajaran jelas sekali bahwa UN hanya mengukur dua kecerdasan. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris membutuhkan/mengukur kecerdasan verbal/linguistik sedangkan matematika dan IPA membutuhkan/mengukur kecerdasan/keahlian matematika/logic matematic. Hal ini jelas hanya fokus mengukur bahasa dan matematika saja. Ada enam kecerdasan yang lainnya yang diabaikan/dianaktirikan dan dianggap tidak penting.
Yang menjadi masalah adalah, bagaimana kalau seorang siswa umpamanya ternyata dia cerdas pada bidang musik, kinestetik, dan naturalis. Lalu diuji dengan alat UN yang notabene tidak akan mampu mengukur kecerdasan yang dimilikinya. Tentu saja hasilnya tidak akan maksimal. Setelah itu siswa dinyatakan tidak lulus. Maka secara umum siswa tersebut dinyatakan tidak cerdas. Alangkah sadisnya dunia pendidikan dengan cara penilaiannya yang seperti ini.
Jadi, kata kunci kelemahan UN yang pertama adalah kelulusan. Padahal hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Permendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian. Hasil UN dimanfaatkan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Mendiknas berdasarkan rekomendasi BSNP. Hal ini ditegaskan dalam Permendiknas nomor 75 tahun 2009 tentang UN tahun Pelajaran 2009/2010.
Padahal tes, dalam hal ini UN, merupakan bagian dari penilaian. Penilaianlah yang seharusnya dijadikan sebagai penentu kelulusan. Kalau kita melihat penilaian menurut Neal Shambaugh dan Susan G. Magliaro dalam Instructional Design, penilaian bertujuan untuk mengukur belajar siswa(2006: 118). Bahkan menurut Patricia L Smith dan Tillman J. Ragan dalam Instructional Design selain untuk mengukur belajar siswa, penilain juga bertujuan untuk mengevaluasi kualitas pengajaran(1993: 100).
Keith Johnson dalam An Introduction to Foreign Language Learning and Teaching menyamakan test sebagai penilaian. Menurut Keith Johnson test bertujuan untuk mengetahui kemajuan siswa dan untuk mengetahui kesuksesan guru dalam mengajar.
Melihat hal di atas jelas, pengukuran untuk menentukan kemajuan seorang siswa tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat pada dua jam atau empat hari saja dalam UN. Pengukuran harus dulakukan secara berkala, bertahap, dan terus-menerus. Sementara UN memvonis dengan kesalahan hanya pada dua jam. Padahal prosesnya berlangsung selama tiga tahun. Ini jelas tidak adil dan tidak manusiawi.
Implikasinya terhadap proses belajar mengajar bagi siswa kelas akhir adalah bagaimana mencapai angka UN setinggi-tingginya. Hal ini bukan hanya target siswa, melaikan juga target orang tua, target guru, target pemerintah, bahkan menjadi target polotik. Maka berbagai cara dilakukan untuk menyukseskan UN. Ketika PBM sudah seperti ini jangan berharap tujuan pendidikan akan mampu dicapai sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Solusinya adalah jangan menjadikan UN sebagai penentu kelulusan. Tes pada akhir program pembelajaran boleh dilaksanakan bukan sebagai ujian tetapi sebagai bahan evaluasi. Penilaian yang dijadikan evaluasi bisa digunakan sebagai pemetaan mutu pendidikan, pembinaan, dan bantuan pendidikan.
Kelemahan UN yang kedua adalah mata pelajaran yang diujikan tidak menunjukkan unsure keadilan apabila dilihat dari kecerdasan majemuk. Hanya ada dua kecerdasan yang terukur yaitu linguistic dan matematik. Atau hanya mengukur IQ (kecerdasan intelektual) saja. Sementara pada diri siswa terdapat tiga kelompok kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan emosional (EQ): cerdas intrapersonal dn cerdas interpersonal, kecerdasan kreativitas (CQ): cerdas gerak tubuh dan cerdas visual spasial, dan kecerdasan adversitas (AQ): cerdas musical dan cerdas naturalis (Nurmey, 2008: 31).
Sebagai bahan pertimbangan penilaian jangan hanya menggunakan penilaian standar, dalam hal ini UN, gunakan juga alternatif-alternatif lain dalam penilaian. Dalam buku Language Assessment Principles and Classroom Practices karya H. Douglas Brown ditawarkan altenatif dalam penilaian yaitu penilaian berbasis kinerja, portofolio, jurnal, konverensi dan wawancara, observasi, dan penilaian diri sendiri dan teman. Penilaian alternaif menawarkan kepada murid lebih banyak pilihan ketimbang ujian tradisional (pilihan ganda) atau ujian esay. (Santrock, 2008: 657) Alternatif dalam penilaian akan lebih mendekati penilaian autentik. Penilaian autentik berarti mengevaluasi pengetahuan atau keahlian murid dalam konteks yang mendekati dunia rill atau kehidupan nyata sedekat mungkin.(Pokey & Siders dalam Santrock, 2008 : 657) Dengan menggabungkan antara UN dengan penilaian alternative diharapkan semua kecerdasan yang dimiliki oleh siswa dapat terukur.
Akhirnya ini adalah tugas kita semua untuk melaksanakan pendidikan sebaik mungkin demi mencerdaskan kehidupan bangsa, baik cerdas intelektual, emosional, kreativitas, adversitas, bahkan kecerdasan spiritual. Semoga kedepan pendidikan lebih baik dengan system penilaian yang lebih tepat dan adil. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2004. Language Assessment Principles and Classroom Practices. Longman: USA.
Johnson, Keith. 2001. An Introduction to Foreign Language Learning and Teaching. Longman:USA
Nurulchaq, Nurmey. 2008. Handout Konsultan Dermatoglyphics Multiple Intelegence. Jogjakarta: DMI Primagama.
Peraturan Mendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 75 tahun 2009 tentang Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK tahun pelajaran 2009/2010.
Santrock, Jhon W.. 2008. Psikologi Pendidikan penterjemah Tri Wibowo B.S.. Jakarta : Kencana
Shambaugh, Neal & Susan C. Magliaro. 2006. Instructional Design A Systematic Approach for Reflective Practice. Pearson Education: USA.
Smith, Patricia L. & Tillman J. Ragan. 1993. Instructional Design. Macmillan Publishing Company: USA.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar: