TENTANG AKU

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Pernah menjadi guru berprestasi tingkat nasional tahun 2003, sekarang masih mengajar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMPN 1 Tengah Tani Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Untuk menambah tantangan dan membuka wawasan, saya juga menjadi guru di Unswagati Cirebon, Akbid Muhammadiyah Cirebon, serta Aktif mengurusi MGMP Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Cirebon dan Provinsi Jawa Barat.

Sabtu, 07 Mei 2011

Tarling

TARLING JAYANA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Tarling pada awalnya hanya berupa permainan anak-anak muda di kala melepas lelah setelah seharian bekerja. Saat itu, pada masa akhir pendudukan Jepang dan memasuki awal revolusi kemerdekaan, permainan mereka hanya menggunakan sebuah gitar dengan menirukan pola tabuhan (melodi) saron. Motif pukulan/tabuhan saron (gamelan) yang berhasil ditransfer ke dalam petikan gitar, akhirnya menjadi kebiasaan remaja saat itu dan dimainkan sambil berkeliling kampung pada malam hari. Hal itu mereka lakukan secara spontanitas dengan membawakan lagu-lagu tradisional yang biasa diiringi musik ensambel gamelan khas Cirebon.
Sementara itu yang pertama kali memelopori bentuk sajian musik gitar dan suling di Cirebon adalah Jayana dengan temannya seorang pemuda keturunan Cina bernama Liem Sin You yang kemudian dikenal dengan nama Pak Barang. Dari kreativitas kedua tokoh itu, dengan memasukan instrumen suling, benih-benih Tarling mulai nampak. Dan dari perpaduan antara gitar dan suling tersebut menghasilkan warna dan corak musik yang cukup unik dan menarik. Kemudian menjelang perang kemerdekaan, dibentuklah Tarling Barang CS. Istilah barang itu sendiri diambil dari kata bebarang yang artinya ngamen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses kelahiran tarling?
2. Bagaimana metamorphosis seni tarling?
3. Bagaimana keberadaan seni tarling saat ini?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana proses kelahiran seni tarling.
2. Mengetahui metamorphosis seni tarling.
3. Memahami keberadaan seni tarling saat ini.
BAB II
PEMABAHASAN

2.1 Seni Tarling Klasik dan Jayana
Menurut penuturan Lulut Casmaya, Tarling dipopulerkan di jaman peralihan Belanda ke Jepang 1941-1945 oleh Jayana dari Karangampel. Seorang anak camat (dulu asisten wilayah), yang diharuskan sekolah pemerintahan untuk meneruskan bapaknya kelak, namun Jayana tak mau. Akhirnya ia melarikan diri ke hutan, orangtuanya kesal dan memerintahkan pada orang suruhan bapaknya untuk dicari hidup atau mati. Hingga ia tertangkap di tengah hutan oleh algojo londo. Sebelum hukuman dilakukan Jayana memohon untuk meminta gitar dan suling yang kemudian mendendang kiser empat lima, hingga akhir cerita Jayana tak mendapatkan hukuman. Bahkan ia diberi kesempatan untuk mengembangkan kesenian tarling.
Awalnya Jayana mendirikan tarling dengan masih ia lakukan sendiri satu persatu alat gitar, suling. Lama-lama capek juga akhirnya mencari orang yang mau belajar tarling. Murid Jayana antara lain Raden Sulam (gitar), Pak Sugra (suling), Riam dan Duleg (sinden) merupakan murid pertamanya dari Indramayu. Di Cirebon bertambah lagi muridnya Ajid dan Narto. Karena semakin banyak muridnya maka berdampak pada kekhasan lokal yang lebih dikenal dalam dunia tarling dengan sebutan kiser.
Begitu tarling mendapat respon yang cukup baik dari kalangan masyarakat, maka sekitar tahun 1950-an Jayana menambahkan beberapa instrumen lain, seperti; Kendang, Ketuk, Kebluk, Kecrek, dan Gong. Hingga dalam perkembangannya, Tarling garapan Jayana terus mengalami perubahan-perubahan menjadi media hiburan massa yang dipentaskan lewat panggung setara dengan kesenian lain yang sebelumnya telah lebih dulu berkembang di wilayah III Cirebon.
Perkembangan Tarling yang begitu cepat, selain faktor dukungan masyarakat apresiatornya juga didasari oleh kreativitas penggarapnya yang cukup tanggap terhadap gejala-gejala yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Kesenian Tarling akhirnya menjadi sebuah seni pertunjukan yang paling banyak di gemari pada era 1960 hingga 1970-an.
Tarling seakan-akan menjadi katarsis bagi kehidupan masyarakat petani dan nelayan dalam mengekspresikan kepedihan ataupun kegembiraan. Melalui petikan gitar, alunan suling, tembang klasik, tembang pop, dan drama, problematika kehidupan tertumpah di panggung. Jurang sosial antara buruh tani dan majikan atau antara bidak dan juragan nelayan melebur dan luluh dalam apresiasi kebersamaan.
Sebagai teater tradisional, tarling menempatkan penonton tanpa jarak. Tarling acap kali melibatkan penonton dalam pertunjukan drama secara spontan, seperti halnya seni lenong di Jakarta atau ludruk di Jawa Timur. Suatu adonan dramaturgi yang mampu menyedot penonton. Sebuah kekuatan yang tiba-tiba mengedepankan tarling bukan hanya sebagai tontonan, tetapi lebih dari itu oase untuk melakukan kontemplasi, introspeksi, dan ekspresi kemarjinalannya.
Siapa sangka pada era kini orang di luar Cirebon-Indramayu menyangka tarling hanyalah deretan tembang-tembang dangdut berbahasa Cerbon-Dermayu. Siapa sangka pula, lagu-lagu tersebut justru makin dikenal di tatar nasional. Setelah lagu "Warung Pojok" (Abdul Adjib) tahun 1967, dari era 1990-an hingga sekarang publik nasional mengenal lagu-lagu semacam "Pemuda Idaman" (Sadi M), "Mabok Bae" (E Thorikin), dan "Kucing Garong".
Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling).
Menurut buku karya seniman dari Indramayu, Supali Kasim, Tarling, Migrasi Bunyi dari Gamelan Ke Gitar-Suling, musik tarling pertama kali muncul di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Saat itu ada seorang komisaris Belanda yang meminta gitarnya supaya diperbaiki oleh salah seorang seniman gamelan yang bernama Mang Sakim. Dan hal ini memberi kesempatan kepada Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada alat musik bule ini dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan.
Ketertarikan Mang Sakim pada instrumen gitar ternyata diturunkan pada putranya yang bernama Sugra. Sugra berusaha memasukkan nada-nada pentatonis di instrumen gitar ini. Dan sekitar dekade 30-an, sekitar tahun 1935-1940, musik tarling mewabah dikalangan masyarakat sekitar Indramayu dan Cirebon. Dan alat musik inipun dipadukan dengan gamelan sebagai pengiringnya. Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya.

2.2. Seni Tarling Keranjingan Budaya Pop
Sebagai bentuk seni kerakyatan, seni tarling tumbuh dan berkembang tanpa pakem atau ketentuan baku lain. Generasi Mang Sugra di Indramayu pada dekade 1930-an bereksperimen memindahkan bunyi dawai gitar Eropa menjadi nada-nada pentatonis gamelan Dermayu-Cerbon. Ditingkahi seruling bambu dan tembang gamelan, seperti "Dermayonan", "Bendrong", atau "Cirebon Pegot", bunyi tersebut melahirkan kesenian gitar-suling.
Generasi Jayana dan Raden Sulam pada era 1950-an mampu membawa tarling sebagai pertunjukan yang bernas. Peristiwa hajatan dalam keluarga menjadi bermakna dengan tampilan tarling. Suguhan drama humor, drama keluarga, tembang klasik, ataupun lagu ngepop memberi warna pada estetika masyarakat.
Sejak dekade 1960-an tarling menanjak pada lagu-lagu yang agak ngepop, tetapi tetap bertumpu pada nada dasar klasik daerahnya. Lagu-lagu seperti "Warung Pojok", "Penganten Baru", "Supir Inden", "Sumpah Suci", "Temon" (Abdul Adjib), "Melati Segagang", "Saumpama-saumpami", "Berag Tua", dan "Aja Dumeh" (Sunarto Martatmadja) mampu merebut penonton yang tampaknya juga keranjingan budaya pop.
Dinamika itu makin bergeser dengan tengara mulai ditinggalkannya nada dasar klasik daerah. Sejak dekade 1980-an, ketika Rhoma Irama menjadi isme tersendiri yang mengusung percampuran musik Melayu, India, dan rock, pengaruh itu juga berimbas pada lagu-lagu tarling. Hal itu juga berlaku pada penampilan para senimannya yang suka berjenggot, rambut keriting-gondrong, memakai jubah kebesaran, dan menenteng sebuah gitar layaknya Rhoma Irama.
Beberapa lagu masih setia dengan nada dasar klasik, tetapi lebih banyak lagi yang mengekspresikannya secara bebas sebagai lagu dangdut nasional berbahasa Cerbon-Dermayu. Awalnya beberapa lagu, seperti "Sepasang Manuk Dara" (Hj Dariyah), "Kawin Paksa" (Udin Zhen), "Pemuda Idaman" (Sadi M), "Lanang Sejati" (Herman Top), "Kapegot Tresna" (Yoyo S), "Tetes Banyumata" (Agus Salim/Eddy Bentar), ataupun "Angin Sore" (Acing C Pribadi), tetap mengusung nada dasar klasik pada tembang pop-dangdut tersebut. Adapun lagu-lagu lain mulai meninggalkan nada dasar tersebut. Ciri khas kedaerahan pada akhirnya hanya menyisakan unsur bahasa daerah.

2.3 Seni Tarling Keranjingan Seni Bebas dan Liar
Berbeda dengan seni yang tumbuh dari keraton yang memiliki pakem dan nilai-nilai kesakralan, seni tarling berkembang dengan dinamika yang lugas, bebas, bahkan liar. Perubahan demi perubahan sangat tampak, misalnya dalam wujud lagu. Jika nada dan tempo makin terasa dinamis, begitu pula pada syair-syairnya. Perkembangan sosial, budaya, dan geregap kehidupan lain pada masyarakat tampaknya berpengaruh pada syair-syair yang cenderung mudah dicerna.
Sastra Cerbon-Dermayu masa lama hingga baru, semisal jawokan (mantra), panyandra (ibarat), dan paribasa (peribahasa), mungkin dianggap kurang dinamis. Syair lagu lebih banyak bernuansa wangsalan dan parikan (pantun) yang lebih memasyarakat. Dinamika juga terjadi pada tema dan judul lagu yang mudah mengikuti tren.
Tren dekade 1960 hingga 1970-an cenderung menyuarakan problematika sosial, cinta yang agung, dan nasib wong cilik dengan bahasa yang puitis. Hal ini berbeda dengan dekade 1980 hingga 1990-an yang menyuarakan tema-tema tersebut dengan lugas, blak-blakan, dan bombastis. Bisa jadi kini organ tunggal dianggap sebagai metamorfosis seni tarling dengan menyisakan ciri bahasa daerah pada lagu-lagunya yang kerap dianggap sebagai lagu tarling dangdut. Karakter mengikuti tren tampaknya tetap berlangsung.
Entah karena kerasnya kehidupan sosial, gonjang-ganjing politik, degradasi budaya, atau seperti diungkap pujangga dan Raja Kediri Jayabaya (1135-1157) sebagai akeh wong mbambung, akeh wong limbung (banyak orang menggila, banyak orang limbung), lagu-lagu tarling dangdut era kini lebih suka mengambil judul dengan personifikasi binatang, seperti "Kucing Garong", "Uler Kilan", "Ula Pucuk", "Mujaer Mundur", "Dedali Putih", "Capit Yuyu", "Pindang Urang", "Gagak Abang", dan "Buaya Ngesod". (SUPALI KASIM Mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu).











BAB III
PENUTUP

Seni tarling tumbuh dilingkungan rakyat, sehingga music ini merakyat. Tumbuh dari music dolanan, kini berkembang menjadi music nasional bahkan music internasional. Tetapi seperti apapun bentuk tarling sekarang, kita jangan melupakan orang yang berjasa untuk ini. Dia adalah Jayana. Jayana adalah seniman sederhana yang mengangkat tarling dari music dolanan menjadi music yang berkelas.
Tarling mengalami metamorphosis yang panjang. Mulai dari music sederhana yang terdiri dari alat music gitar dan suling atau tarling klasik. Lalu digemari banyak orang setelah sering diputar di radio, maka diberi sebutan baru yaitu melodi kota udang.
Dalam perkembangan berikutnya tarling sempat dipengaruhi oleh music dangdut, jaipong, bahkan rock. Namun sebagai unsure utama tarling yaitu gitar dan suling tidak hilang kekhasannya.
Bahkan sekarang tarling sudah berbaur dengan berbagai unsure music. Maka kini terlahir sebagai music yang khas yang kita kenal dengan dangdut cirebonan. Tetapi seperti apapun bentuknya, tarling tetap sebagai music rakyat dan tetap digemari wong cerbon.

Tidak ada komentar: